Minggu, 27 Juni 2010

Pit Jepang Sketsa Pekalongan


S ejak pukul 06.00 pagi hingga 07.00 menandai dimuinya karanaval harian di Jl. Seruni, jaluralternatif yang menghubungkan Pekalongan dengan Kabupaten Batang di penuhi lalu lalang pelajar bersepeda jengki keranjang depan yang di sebut pit Jepang (Belanda : Fiets). Jalanan menjadi ruang bertemu bagi hampir semua pemain dalam pertunjukan seni "onthel kereta angin" yang arusnya terus mengalir tanpa henti sepanjang sekitar 4 jam pada pagi hari dan 2 jam pada sore hari. Setelah pukul 08.00 sampai 09.00 menyusul para pekerja pabrik buruh harian dan karyawan toko dari arah Batang menyerbu pekalongan. Rekaman keriuhan pengonthel pit Jepang pagi itu sungguh mempresentasi satu sesi seni cerita tentang "sketsa Urban" yang di mainkan oleh aktor yang tidak mengenal perbedaan stigma. Semua kalangan pakai pit Jepang, boleh disaksikan sendiri,kok, di jalanan cowok bertato atau para santri dan kyai bersarung. Ibu-ibu pengajian, wanita-wanita pekerja atau pelajar, menyesaki dihampir setiap sudut jalan di Kabupaten Pekalongan. Ruang yang sesak di kota dan desa-desa yang damai itu bagaikan panggung teater yang dramatis. Tanpa sutradara, orang-orang itu sibuk dengan berbagai peran sesuai kepentingannya masing-masing. Ditengah keriuhan itu, di sebuah warung tenda sego megono, seorang pemuda menangis sesenggugan, baju batiknya basah oleh keringat, seorang perempuan berjilbab anggun menyodorkan kertas tisu. Diantara parkiran beberapa pit Jepang depan warung yang bersebelahan dengan swalayan, sesekali lelaki bersarung dan berkopiah melintas bersimpangan seorang anak yang dibonceng ibunya dengan sayur mayur di keranjang beriringan dengan pria buruh angkut pelabuhan yang pulang kerumah sambil membawa ikan, juga dengan pit jepang. Tanpa inisiasi komunitas sepeda atau tanpa jargon bike to work atau to school, pit Jepang selalu setia jadi alat latar seni adegan berbagai peristiwa seni publik warga Pekalongan. Dihampir setiap keluarga memilikinya, para juragan batik pun selalu menyimpan di galeri yang dimilikinya. Tak hendak melebih-lebihkan, pit Jepang itu enak di pakai, awet dengan teknologi baru dan model unik membuat sepeda impor bekas dari Jepang ini di terima masyarakat Pekalongan yang dinamis. Pekalongan memang kota yang selalu mencipta sejarahnya sendiri. Inilah teks yang hidup, karnavalan dan pertunjukan yang memancing munculnya kembali kesadaran kemanusiaan yang tergerus oleh kerasnya hidup dalam studi urbanisme yang cenderung mengerakkan kotanya dengan investasi di bidang kebudayaan untuk mengangkat reputasi dan ekonomi kota Pekalongan.

Sabtu, 26 Juni 2010

begadang ke South Africa demi Waka Waka 2010


Begadang ke South Africa
Demi Waka Waka 2010

tapi produktivitas rutin jangan menurun
demi target cetak gol perusahaan
sempatin tidur saat senggang plus kecukupan gizi dengan multivitamin
agar
sokker koors en werk
tak terlewatkan

my music was kill me

hati hati dengan earphone musik loe, saat melintas di rel KA.

salah-salah, nasib loe bisa sama dengan Eric dan Itha, sesama mahasiswa di Depok.



Minggu, 20 Juni 2010

IDEALISME BETA HINGGA VICTORIA PARK

gabung grup APRESIASI FILM @INDONESIA
Pejuang Devisa
Minggu Pagi Di Victoria Park adalah liburan para TKW di Hongkong dari pekerjaan sehari-hari sebagai pembantu, mereka bergembira di taman ini. Sebagaian lainnya berkencan dengan para lelaki dari sejumlah bangsa. Alur cerita yang tidak terlalu istimewa ini yang coba di filmkan Lola Amaria dengan judul Minggu pagi di Victoria Park yang berkisah tentang Mayang (Lola Amaria) yang bersedia jadi TKW di Hongkong untuk mencari adiknya, Sekar (Titi Sjuman) yang "menghilang". Sekar di gambarkan sudah over stay, lalu terlibat prostitusi dan Mayanglah yang menyelamatkannya.
Lola Amaria terang-terangan mengatakan bahwa ungkapan "pejuang devisa" itu hanyalah jargon politis yang meninabobokkan para TKI. Minggu Pagi di Victoria Park, memberi gambaran yang meneduhkan kehidupan para TKW di Hongkong.
Ironi
Gambar-gambar yang di sajikan dalam film adalah gambar-gambar yang berbicara, seperti film berjudul Tanah Air beta, lanskap kota Belu di Timor Tengah Utara yang berbatu karang gersang di langit biru pekat, seperti hadir menjadi ironi. Ari Sihasale bersama produser Nia Zulkarnain, menempatkan cerita seputar pengungsi eks Timor Timur di NTT sebagai tragedi kemanusiaan. Bahkan lebih detail, seputar tragedi keterpisahan anak manusia dengan keluarga intinya.
Seharusnya kehidupan di alam yang bersih dan murni itu menjadi jaminan keberlangsungan kedamaian kehidupan para penghuninya. Namun toh, kehidupan Tatiana (Aleksandra Gottardo), sang ibu dua anak yang mengungsi ke NTT seusai penentuan pendapat di Tim-tim, Agustus 1999, begitu menderita. Ia terpisah dengan Mauro dan hanya mengungsi bersama anak keduanya, Merry (Griffit Patricia).
Idealis
Diluar soal itu, kedua film ini tumbuh dengan idealisme kental. Lola tak mau beresiko menampilkan tragedi para TKI, dan Ari Sihasale, bisa di pahami jika tak mau memasuki wilayah politik, dalam pengertian yang amat praksis. Namun, keduanya memperlihatkan tumbuhnya persahabatan yang melebihi persaudaraan. Dua film ini juga menunjukkan betapa pentingnya memasukkan pesan dalam setiap gagasan.

Sabtu, 12 Juni 2010

berterimakasihlah pada masalah



Tuhan mengirimkan hadiah indah di dalam kado yang rumit untuk dibuka. Kemudian Tuahan melihat dari jauh kepada tiap penerimanya, seberapa besar kesabaran mereka membuka kado untuk mendapatkan isi hadiahnya.
Selalu saja masalah terlihat tidak menyenangkan, tapi keindahan mutiara saja selalu tersembunyi di balik bungkus kerang yang keras, dan susah untuk di buka. Susahnya serumit ujian bagi seorang mukmin yang hatinya di goncangkan dengan goncangan yang sangat. (QS.33:11) Dan masalah adalah rahmat untuk menandai dinamikanya hidup yang masing-masing telah mendapatkannya berlainan dari orang per orang, seperti pemandangan di taman yang indah oleh rupa-rupa warna.
Kesusahan dan kesulitan, laksana musim dingin, basah dan lembab, tidak di sukai insan. Tetapi sesudah musim sejuk itulah tumbuh bunga-bunga yang harum dan buah-buahan yang subur.
Lakukan pendakian gunung. Jangan mengukur tingginya gunung, kecuali kamu telah bsampai di puncaknya dan berkata, "inilah rendahnya gunung". Banyak pendaki berhenti di tengah pendakian lalu, membuat kemah untuk tempat pemberhentian. Yang lain puas telah berada diatas puncaknya. Beberapa pendaki berpendapat pendakian adalah hidupnya dan akan terus melakukan pendakian.
Banyaknya masalah yang berhasil ditaklukkan adalah tanda dari ketinggian ilmu yang di kuasai, jadi orang berkelas dan bukan kelas tinggi atau rendah. Dan banyaknya solusi adalah jawaban pemecahan masalah dari hadiah yang akan dimiliki.